Sebagai
sebuah bagian dari ilmu social, ilmu komunikasi (atau tepatnya komunikasi
massa) akan memakai indikator, perangkat yang selama ini dipakai dalam ilmu social. Bowers dan Cortright (1984)
menawarkan sebuah definisi bahwa “Teori adalah seperangkat pernyataan yang
menyatakan hubungan antarvariabel”. Bailey (1982) menawarkan bahwa teori harus
bisa memberikan jalan bagi usaha pemahaman untuk mengerti dunia social, maka
bagi teori itu “ Penjelasan dan pemprediksian fenomena social yang berhubungan
dengan subjek ketertarikan kepada beberapa fenomena yang lain.”
Media massa
merupakan alat utama dalam komunikasi massa, keterkaitan antar fenomena itu
tidak akan lepas dari media massa. Ini berarti bagaimana media massa mempengaruhi,
membentuk, dan mengarahkan hidup manusia.
Denis
McQuail (1987) pernah memberikan beberapa jenis dan teori-teori komunikasi
massa sebaga berikut :
1. Teori Ilmu Pengetahuan Sosial (
Social Scientific Theory)
Sumber teori ini merupakan kenyataan tentang media. Dalam penerapannya
jenis teori ini sering bergantung pada ilmu social lainnya. Contohnya, teori
yang menerangkan hubungan antara televisi dengan perilaku agresif.
2. Teori Normatif (Normative Theory)
Teori ini berkenaan dengan masalah bagaimana seharusnya media berperan
ketika serangkaian nilai sosial ingin diterapkan dan dicapai sesuai dengan
sifat dasar nila-nilai sosial tersebut.
3. Teori Praktis (Operational Theory)
Teori ini menyuguhkan penuntun tentang tujuan media, cara kerja yang
seharusnya diharapkan agar seirama dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
sosial yang sifatnya lebih abstrak, secara-cara pencapaian beberapa sasaran
tertentu.
4. Teori akal sehat (Commonsense
Theory)
Teori ini merupakan pengetahuan (dan gagasan) ysang dimiliki oleh setiap
orang dengan begitu saja atau melalui pengalaman langsung dengan masyarakat.
Sementara
itu, Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2003) menambahkan jenis teori dalam
perkembangan baru ilmu sosial, yakni teori kritis (critical theory). Teori ini
tertarik untuk membahas ketidaksamaan dan ketertindasan (akibat system). Tujuan
teori sosial adalah memprediksikan dan mengontrol. Bagi Jensen (1990) tujuan
disini sebagaimana dalam teori kritis adalah emansipasi dari dan perubahan
dalam peraturan sosial yang dominan. Dengan demikian, sebuah teori komunikasi
massa setidaknya tidak berisi : 1) seperangkat pernyataan yang didefinisikan
dalam kata kunci; 2) menspesifikasikan hubungan antar konsep; 3)
mendeskripsikan fenomena yang menggunakan konsep itu; 4) menawarkan prediksi
tentang fenomena; dan 5) menyarankan terhadap suatu kejadian.
A.
Hypodermic Needle Theory
Untuk
mempelajari media massa, harus diakui bahwa peran gatekeeper sangatlah vital
dalam melayani konsumenennya. Sampai tahun 1930-an dan 1940-an yang disajikan
media massa secara langsung berdampak kuat pada diri audience. Audience, dari
masyarakat dianggap mempunyai ciri khas khusus yang seragam dan lingkungan
serta mempunyai sedikit control. Tidak ada campur tangan di antara pesan dan
penerima. Jadi, antara penerima dengan pesan yang disebarkan oleh pengirim
tidak ada penerima perantara atau langsung diterimanya. Dalam literatur, ini
sering disebut dengan istilah teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory)
atau teori peluru (bullet theory). Alasannya, isi senapan (diibaratkan pesan)
langsung mengenai sasaran tanpa perantara. Artinya, pesan yang dikirimkan akan
langsung mengenai sasarannya yakni penerima pesan, seperti peluru yang langsung
mengenai sasaran.
Berbagai
perilaku yang diperlihatkan TV dalam adegan filmnya memberi rangsangan
masyarakt untuk menirunya. Jika dibandingkan dengan media massa lain, TV sering
dituduh sebagai agen yang bisa memengaruhi lebih banyak sikap dan perilaku
masyarakatnya.
B.
Cultuvation Theory
Teori
kultuvasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor Geoege
Gerbner ketika ia menjadi Dekan Annenberg School of Communication di
Universitas Pennyslvania (AS). Menurut teori ini, TV menjadi media atau alat
utama di mana para penonton TV belajar tentang masyarakat dan kultur di
lingkungannya.
Dalam
perkembangannya, teori tersebut bisa digunakan untuk kajian di luar tema
kekerasan. MIsalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah
mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera).
Mereka yang tergolong pecandu opera sabun tersebut lebih cenderung melakukan
affairs (mmenyeleweng), bercerai, dan menggugurkan kandungan daripada mereka
yang bukan termasuk pecandu opera sabun (Dominic, 1990)
Melalui
perbedaan kultuvasi, orang tua ditampilkan secara negative di TV, terutama kaum
muda lebih mempunyai pandangan ngeatif tentang orangtua daripada mereka yang
bukan termasuk kelompok pecandu. Para pecandu berat TV (heavy viewers) akan
menganggap apa yang terjadi di TV adalah dunia kenyataan. Gerbner berpendapat
bahwa media massa menanamkan sifat dan nilai tertentu. Media mempengaruhi
penonton dan masing-masing penonton itu meyakininya. Jadi, para pecandu TV
memiliki sikap yang sama satu sama lain. Sebagaimana yang dicatat McQuaol dan
WIndahl (1993), teori kultuvasi menggap bahwa TV tidak hanya disebut sebagai
jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu
sendiri.
Jika kita
menonton acara Buser, Patroli, Sergap di TV Indonesia. Dalam pandangan
kultuvasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam acara-acara itu
menggambarkan dunia kita sebenarnya. Acara tersebut seolah menggambarkan dunia
kejahatan seperti itulah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Efek kultivasi
memberikan pesan bahwa TV mempunyai dampak yang sangat kuat pada diri individu.
Bahkan, mereka menggap bahwa lingkungan di sekitarnya sama seperti yang
tergambar dalam TV.
1. Kritik terhadap Teori Kultivasi
Gerbner telah dikritik karena terlalu
menyederhanakanpermasalahan. Perilaku kita kemungkinan tidak hanya dipengaruhi
oleh TV, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain
yang berhubungan dengan kita, dan lain lain.
Hawkins dan PIngree tidak dapat menemukan
kesimpulan yang menunjuk adanya hubungan antara menonton TV dengan gagasan
realitas sosial penontonnya. Mungkin ada hubungan yang saling memengaruhi
antara “menonton TV menyebabkan sebuah realitas sosial yang dikontruksikan di
dalam cara tertentu, tetapi kontruksi realitas sosial itu mungkin juga
disebabkan langsung oleh perilaku penonton itu sendiri” (McQuail dan Windahl,
1993).
Doob dan MacDonald melaporkan bahwa dalam
mempelajari tema kekerasan, kontrol lingkungan lebih cocok dibandingkan dengan control
pendapat seperti yang pernah dikemukakan oleh Gerbner. Hirst bahkan
menggarisbawahi bahwa sebuah hubungan nyata antara terpaan kekerasan TV dan
takut akan kejahatan dalam dijelaskan dalam lingkungan dengan tingkat
kriminalitas tinggi lebih mungkin untuk tinggal di rumah dan menonton TV, bahwa
mereka juga percaya bahwa mereka memiliki peluang lebih besar untuk diserang
atau diganggu daripada mereka yang tinggal di dalam lingkungan yang tingkat
kriminalitasnya rendah.
Bagi Daniel Candler, mengajukan pernyataan
kepada penonton tentang perkiraan statistic kejahatan bisa dianggap ukuran
kasar kalau dijadikan patokan utama. Bahkan di dalam konteks fungsi simbiolik,
beberapa penganut teori kritis membahas lebih jauh dibandingkan penganut teori
kultivasi, yang berpendapat atau memberikan contoh bahwa adanya kekurangan relatif
pada ciri khas kaum wanita pada TV adalah pernyataa simbolik tentang
ketidakpercayaan kepentingan di dalam realitas sosial yang sedang terjadi “wanita
itu dihancurkan secara simbolik”.
Beberapa teori mutakhir menekankan bahwa
penonton sebenarnya aktif di dalam usaha menekan kekuatan pengaruh TV seperti
yang tidak di asumsi teori kultivasi. Teori kultivasi mengganggap penonton itu
pasif. Teori kultivasi lebih memfokuskan pada kuatintas menonton TV atau “terpaan”
dan tidak menyediakan perbedaan yang mungkin muncul ketika penonton
menginterpretasikan siaran-siaran TV. Bahkan Joseph Dominick pernah berkata
bahwa, “individu yang menonton TV tanpa motivasi atau perencanaan sebelumnya
lebih gampang untuk melupakan apa yang dilihatnya daripada mereka yang menonton
TV dengan motivasii dan direncanakan“ (Dominick 1990).
Para penganut teori kultivasi cenderung
memandang sebelah mata adanya dinamika sosial dalam memanfaatkan siaran TV.
Ketika penonton mempunyai banyak pengalaman hidup langsung tentang apa yang
disiarkan TV, semua itu cenderung akan mengurangi efek kultivasi. Sering
dikatakan bahwa teori kultivasi mungkin dipertinggi ketika penonton
menginterpretasikan isi program menjadi realistis. Itu berarti, penonton yang
skiptis mungkin lebh sedikit terkena efek. Ada banyak bukti bahwa minoritas
etnis memperlihatkan pengalaman dalam soal-soal duniawi di dalam “realitas yang
dirasakan” daripada yang lain (Van Evra 1990).
C.
Cultural Imperialism Theory
Teori ini
prtama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Teori imperialisme
budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia. Hal
ini berarti, media massa negara Barat mendominasi media massa di dunia pihak
ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi
media dunia ketiga. Kebudayaan Barat memproduksi hampir mayoritas semua media
massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto, dll. Kenapa bisa seperti
itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka bisa berbuat apa saja
untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Kedua,
merek mempunyai teknologi. Teknologi modern yang mereka miliki memungkinkan
sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan, dan seolah nyata.
Negara
dunia ketiga tertarik untk membeli produk Barat tersebut. Sebab, membeli produk
jauh lebih murah jika dibandingkan dengan membutnya sendiri. Dampak
seelanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di
negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup,
kepercayaan, dan pemikiran. Mengapa bangsa negara dunia ketiga ingin menerapkan
demokrasi? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke
dunia ketiga. Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang
disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Bara tersebut.
Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti
dan disesuaikan dengan budaya Barat.
Salah satu
yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak
mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang
dirasakan, dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa
saja yang dilihatnya di TV. Akibatnya, individu-individu tersebut lebih senang
meniru apa yang disajikan TV. Teori imperialisme budaya ini pun tidak lepas
dari kritikan. Teori tersebut menganggap bahwa busaya yang berbeda (yang
tentunya lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang
yang berbeda budaya.
D.
Media Equation Theory
Teori ini
pertama kali dikenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam tulisannya
The Media Equation: How people Treat Computers, Television, and New Media Like
Real People and Places pada tahun 1996. Teori persamaan media ini ingin
menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak sadar dan bahkan secara
otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media seolah-olah (media itu)
manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga bisa diajak berbicara.
Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan computer seolah-olah computer
itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi.
Manusia
bisa belahar dari orang lain, bisa dimintai nasihat, bisa dikritik, bisa
menjadi penyalur kekesalan atau kehimpitan hidup. Apa yang bisa dilakukan pada
manusia ini bisa dilakukan oleh media massa. Dalam media cetak misalnya, kita
pun bisa meminta nasihat masalah-masalah psikologi pada rubrik konsultasi
psikologi di media massa itu, kita pun bisa mencari jodoh melalui media, yaitu
dalam rubric cari jodoh. Dalam hal ini TV dan computer diberlakukan sebagai actor
sosial. Artinya, aturan yang memengaruhi perilaku individu-individu setiap hari
dalam interaksi dengan orang lain relative sama seperti ketika orang-orang
berinteraksi dengan computer atau TV.
Sejalan
dengan teori ekuasi media ini, media bahkan dianggap seperti kehidupan nyata
(media and rel life are the same). Dengan computer kita berbuat apa saja,
misalnya kita bisa mencari hiburan dengan permainan yang disediakan, kita bisa
menjelajah keseluruh dunia dengan perantaraan internet, kita bisa berkirim
surat secara cepat melalui e-mail dengan teman yang adda di negara lain, kita
pun bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari kebutuhan kita dengan computer.
E.
Spiral of Silence Theory
Elizabeth
Noelle-Neuman adalah orang yang memperkenalkan teori spiral
keheningan/kesunyian ini. Teori ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1987
melalui tulisannya yang berjudul The Spiral of Silence. Seseorang sering merasa
perlu menyembunyikan “sesuatu”nya ketika berada dalam kelompok mayoritas.
Bahkan orang-orang yang sedang berada dalam kelompok mayoritas sering merasa
perlu untuk mengubah pendiriannya. Sebab, kalau tidak mengubah pendiriannya, ia
akan merasa sendiri. Ada kaitan erat antara opini dengan media massa. Opini
yang berkembang dalam kelompok mayoritas dan kecenderungan seorang untuk diam
(sebagai basis dasar teori spiral kesunyian) karena dia berasal dari kelompok
minoritas juga bisa dipengaruhi oleh isu-isu media massa.
Untuk
memperjelas teori ini bisa diilustrasikan pada kejadian di Indonesia. Di
Indonesia terjadi dua kelompok besar yang setuju dengan penerapan demokari dan
yang tidak.
Teori ini
memiliki kekurangan. Jika seseorang mempunyai pendirian yang sangat kuat, orang
tersebut tidak akan mudah mengikuti opini mayoritas yang ada di sekitarnya
misalnya jika opini itu menyangkut kepercayaan.
F.
Technological Determinism Theory
Teori ini
dikemukakan oleh Marshall McLuhan pertama kali pada tahun 1962 dalam tulisannya
The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Ide dasar teori ini
adalah bahwa perubahan yang terjadi padda berbagai macam cara berkomunikasi
akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Misalnya, dari masyarakat
suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan
komunikasi cetak ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elekteronik.
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita
berkomunikasi.
Kita
belajar, merasa, dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang
diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi
komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio
menyediakan pesan kepada manusia melalui indera pendengar (audio), sementara TV
menyediakan pesan melalui pendengaran dan penglihatan (audio visual). Media
adalah alat untuk memperkuat, memperkeras, dan memperluas fungsi dan perasaan
manusia. Misalnya, dengan sebuah buku seseorang bisa memperluas cakrawala,
pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan
oleh masyarakat umum, dengan buku, kita bisa “melihat dunia”.
McLuhan
percaya bahwa penemuan telegraf pada tahap selanjutnya, mengantarkan orang-orang
memasuki era elektronik. Dengan era elektronik, dunia seolah semakin sempit.
Hal inilah yang disebut McLuhan sebagai desa golab (global village).
G.
Diffusion of Innovation Theory
Artikel
berjudul The People’s Choice yang ditulis oleh Paul Lazarfeld, Bernard
Barelson, dan H.Gauder pada tahun 1944 menjadi titik awal munculnya teori
difusi-inovasi. Teori ini di awal perkembangannya mendudukkan peran pemimpin
opini dalam memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Artinya, media massa
mempunyai pengaruh yang kuat dalam menyebarkan penemuan baru. Menurut Rogers
dan Shoemaker (1971) difusi adalah proses dimana penemuan disebarkan kepada
masyarakat yang menjadi anggota system sosial.
Sebelum
ditemukan kondom sebagai salah satu alat kontrasepsi, masyarakat biasa
melakukan family planning. Saat ini di TV sangat gencar diiklankan tentang alat
kontrasepsi tersebut. Sesuatu yang baru itu menimbulkan keingintahuan
masyarakat. Lalu, masyarakat ingin mencobanya, sehingga alat kontrasepsi
tersebut sudah banyak dipakai. Jadi ada inovasi (kondom), disebarkan melalui
media masa (difusi) lalu dipakai oleh masyarakat (adopter).
Adopsi
sebuah inovasi baru akan berjalan secara baik atau tidak, dengan kuantitas
pemakai yang besar atau tidak, sangat tergantung dari peran media massa di
dalam menyebarkan pesan-pesannya. Dengan demikian, teori difusi-inovasi
mendudukan peran media massa sebagai agen perubahan sosial di masyarakat yang
tidak bisa dianggap remeh. Jika disimpulkan, menurut teori ini sesuatu yang
baru akan menimbulkan keingintahuan masyarakat untuk mengetahuinya. Seseorang
yang menemukan hal baru cenderung untuk menyosialisasikan dan menyebarkan
kepada orang lain.
H.
Uses and Grafitications Theory
Herbert
Blumer dan Elihu Katz adalah orang pertama yang mengenalkan teori ini. Teori
uses and grafitications (kegunaan dan kepuasan) dikenalkan pada tahun 1974
dalam bukunya The Uses on Mass Communications: Current Perspectives on
Gratifications Research. Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan
peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain,
pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media
berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik dalam usaha memenuhi
kebutuhannya. Artinya, teori ini mengansumsikan bahwa penggunanya mempunyai
pilihan alternative untuk memuaskan kebutuhannya.
Teori ini
jelas merupakan kebalikan dari teori peluru. Dalam teori peluru media sangat
aktif dan all powerfull, sementara audience berada di pihak yang pasif.
Sementara itu dalam teori ini ditekankan bahwa audience aktif untuk menentukan
media mana yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhannya. Kalau dalam teori
peluru terpaan media akan mengenai audience sebab ia berada dipihak yang pasif,
sementara dalam teori ini justru sebaliknya. Teor ini lebih menekankan pada
pendekatan manusiawi dalam melihat media massa. Artinya, manusia itu mempunyai
otonomi, wewenang untuk memperlakukan media.
Sementara
Schramm dan Porter dalam bukunya Men, Women, Message , and Media (1982) pernah
memberikan formula untuk menjelaskan teori ini
Janji Imbalan
-----------------------------------
= Probabilitas Seleksi
Upaya yang Diperlukan
Kita bisa memahami interaksi orang
dengan media melalui pemanfaatan media oleh orang itu (uses)
dan kepuasaan yang diperoleh
(gratification).
I.
Agenda Setting Theory
Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw
adalah orang yang pertama kali memperkenalkan teori agenda setting ini. Teori
ini muncul sekitar tahun 1973 dengan publikasi pertamanya berjudul “The Agenda
Setting Function of The Mass Media” Public Opinion Quarterly No. 37. Secara
singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media (khususnya media berita)
tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita piker, tetapi media tersebut
benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Teori media ini
mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada
gagasan atau peristiwa tertentu. Jika agenda media adalah pemberitaan tentang
operasi pemulihan keamanan di Aceh untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
agenda atau pembicaraan masyarakat juga sama seperti yang diagendakan media
tersebut. Hal ini berarti, jika pemberitahuan media massa tentang kenaikan
harga BBM yang kontroversional, yang menjadi bahan pembicaraan masyarakat
tentang kenaikan harga BBM itu.
Mengikuti pendapat Chaffed an Berger
(1997) ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan untuk memperjelas teori ini.
1. Teori itu mempunyai kekuatan
penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama menggap penting suatu isu
2. Teori itu mempunyai kekuatan
memprediksi sebab bahwa jika orang-orang mengekspos pada suatu media yang sama,
mereka akan merasa isu yang sama tersebut penting.
3. Teori itu dapat dibuktikan salah
jika orang-orang tidak mengekspos media yang sama maka mereka tidak akan
mempunyai kesamaan bahwa isu media itu penting.
Sementara itu Stephen W. Littlejohn
(1992) pernah mengatakan, agenda setting ini beroprasi dalam tiga bagian:
1. Agenda media sendiri itu harus
diformat.
2. Agenda media dalam banyak hal
memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu
tertentu bagi publik.
3. Agenda publik memengaruhi atau
berinteraksi ke dalam agenda kebijakan.
Untuk lebih memperjelas tiga agenda (agenda
media, agenda khalayak, dan agenda kebijakan) dalam teori agenda setting ini,
ada beberapa dimensi yang berkaitan seperti yang dikemukakan oleh Mannheim
(Severin dan Tankard Jr, 1992) sebagai berikut:
1. Agenda media terdiri dari
dimensi-dimensi berikut.
a) Visibility (visibilitas).
b) Audience salience (tingkat menonjol
bagi khalayak).
c) Valence (valensi).
2. Agenda khalayak, terdiri dari
dimensi-dimensi berikut.
a) Familiarity (keakraban).
b) Personal salience (penonjolan
pribadi).
c) Favorability (kesenangan).
3. Agenda kebijakan terdiri dari
dimensi-dimensi berikut.
a) Support (dukungan).
b) Likelihood of action (kemungkinan
kegiatan).
c) Freedom of action (kebebasan
bertindak).
J.
Media Critical Theory
Teori media kritis ini akarnya
berasal dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada ilmu sosoal Marxis.
Beberapa tokoh yang meloporinya antara lain Karl Marx, Engels (pemikiran
klasik), George Lukacs, Korsch, Gramschi, Guevera, Regis, Debay, T. Adorno,
Horkheimer, Marcuse, Habernas, Altrusser, Johan Galtung, Cardoso, Dos Santos,
Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi (prmikiran modern). Teoru kritis membangun
pertanyaan dan menyediakan alternative jalan untuk menginterpretasikan hokum sosial
media massa. Teori kritis sering menganalisis secara khusus lembaga sosial,
penyelidikan luas untuk yang dinilai objektif adalah mencari dan mencapai.
Bisa dikatakan bahwa teori media
kritis ini sebisa mungkin mendorong perubbahan secara terus-menerus. Hegemoni
pemilik modal sudah saatnya dihilangkan dengan “perlawanan”. Menurut
persepektif teori ini, media tidak boleh hanya memberitakan fakta atau kejadian
yang justru memperkuat status quo. Media harus peka terhadap persoalan
ketidakadilan, ketertindasan yang dilakukan pemerintahnya. Media harus terus
mengkritisi dan melawan segala bentuk hegemoni dan kekuasaan yang hanya berada
di tangan penguasa.
Pemerintah, biasanya akan
mementingkan stabilitas dan kesatuan dengan memandang seelah mata konflik, tuntutan,
dan pergolakan yang justru menjadi sasaran teori kritis. Para pemilik modal
lebih menekankan orientasi pasar untuk mencari untung sebanyak-banyaknya.
Mereka tidak peduli apa yang disajikan medianya, yang penting bisa memberikan
keuntungan besar. Disinilah media massa yang sudah mempunyai system kuat sangat
sulit untuk mempraktikan semangat teori kritis media karena hegemoni kekuasaan
dalam system sangat kuat.
Sumber : Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Malang: Raja
Grafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar