Langsung ke konten utama

TEORI-TEORI KOMUNIKASI MASSA


 Hasil gambar untuk komunikasi massa

Sebagai sebuah bagian dari ilmu social, ilmu komunikasi (atau tepatnya komunikasi massa) akan memakai indikator, perangkat yang selama ini dipakai dalam  ilmu social. Bowers dan Cortright (1984) menawarkan sebuah definisi bahwa “Teori adalah seperangkat pernyataan yang menyatakan hubungan antarvariabel”. Bailey (1982) menawarkan bahwa teori harus bisa memberikan jalan bagi usaha pemahaman untuk mengerti dunia social, maka bagi teori itu “ Penjelasan dan pemprediksian fenomena social yang berhubungan dengan subjek ketertarikan kepada beberapa fenomena yang lain.”

Media massa merupakan alat utama dalam komunikasi massa, keterkaitan antar fenomena itu tidak akan lepas dari media massa. Ini berarti bagaimana media massa mempengaruhi, membentuk, dan mengarahkan hidup manusia.
Denis McQuail (1987) pernah memberikan beberapa jenis dan teori-teori komunikasi massa sebaga berikut :

1.       Teori Ilmu Pengetahuan Sosial ( Social Scientific Theory)
Sumber teori ini merupakan kenyataan tentang media. Dalam penerapannya jenis teori ini sering bergantung pada ilmu social lainnya. Contohnya, teori yang menerangkan hubungan antara televisi dengan perilaku agresif.
2.       Teori Normatif (Normative Theory)
Teori ini berkenaan dengan masalah bagaimana seharusnya media berperan ketika serangkaian nilai sosial ingin diterapkan dan dicapai sesuai dengan sifat dasar nila-nilai sosial tersebut.
3.       Teori Praktis (Operational Theory)
Teori ini menyuguhkan penuntun tentang tujuan media, cara kerja yang seharusnya diharapkan agar seirama dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan sosial yang sifatnya lebih abstrak, secara-cara pencapaian beberapa sasaran tertentu.
4.       Teori akal sehat (Commonsense Theory)

Teori ini merupakan pengetahuan (dan gagasan) ysang dimiliki oleh setiap orang dengan begitu saja atau melalui pengalaman langsung dengan masyarakat.
Sementara itu, Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2003) menambahkan jenis teori dalam perkembangan baru ilmu sosial, yakni teori kritis (critical theory). Teori ini tertarik untuk membahas ketidaksamaan dan ketertindasan (akibat system). Tujuan teori sosial adalah memprediksikan dan mengontrol. Bagi Jensen (1990) tujuan disini sebagaimana dalam teori kritis adalah emansipasi dari dan perubahan dalam peraturan sosial yang dominan. Dengan demikian, sebuah teori komunikasi massa setidaknya tidak berisi : 1) seperangkat pernyataan yang didefinisikan dalam kata kunci; 2) menspesifikasikan hubungan antar konsep; 3) mendeskripsikan fenomena yang menggunakan konsep itu; 4) menawarkan prediksi tentang fenomena; dan 5) menyarankan terhadap suatu kejadian.
 
A.      Hypodermic Needle Theory
Untuk mempelajari media massa, harus diakui bahwa peran gatekeeper sangatlah vital dalam melayani konsumenennya. Sampai tahun 1930-an dan 1940-an yang disajikan media massa secara langsung berdampak kuat pada diri audience. Audience, dari masyarakat dianggap mempunyai ciri khas khusus yang seragam dan lingkungan serta mempunyai sedikit control. Tidak ada campur tangan di antara pesan dan penerima. Jadi, antara penerima dengan pesan yang disebarkan oleh pengirim tidak ada penerima perantara atau langsung diterimanya. Dalam literatur, ini sering disebut dengan istilah teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory) atau teori peluru (bullet theory). Alasannya, isi senapan (diibaratkan pesan) langsung mengenai sasaran tanpa perantara. Artinya, pesan yang dikirimkan akan langsung mengenai sasarannya yakni penerima pesan, seperti peluru yang langsung mengenai sasaran.
Berbagai perilaku yang diperlihatkan TV dalam adegan filmnya memberi rangsangan masyarakt untuk menirunya. Jika dibandingkan dengan media massa lain, TV sering dituduh sebagai agen yang bisa memengaruhi lebih banyak sikap dan perilaku masyarakatnya.
 
B.      Cultuvation Theory
Teori kultuvasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor Geoege Gerbner ketika ia menjadi Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennyslvania (AS). Menurut teori ini, TV menjadi media atau alat utama di mana para penonton TV belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya.

Dalam perkembangannya, teori tersebut bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. MIsalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka yang tergolong pecandu opera sabun tersebut lebih cenderung melakukan affairs (mmenyeleweng), bercerai, dan menggugurkan kandungan daripada mereka yang bukan termasuk pecandu opera sabun (Dominic, 1990)

Melalui perbedaan kultuvasi, orang tua ditampilkan secara negative di TV, terutama kaum muda lebih mempunyai pandangan ngeatif tentang orangtua daripada mereka yang bukan termasuk kelompok pecandu. Para pecandu berat TV (heavy viewers) akan menganggap apa yang terjadi di TV adalah dunia kenyataan. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sifat dan nilai tertentu. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu meyakininya. Jadi, para pecandu TV memiliki sikap yang sama satu sama lain. Sebagaimana yang dicatat McQuaol dan WIndahl (1993), teori kultuvasi menggap bahwa TV tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri.

Jika kita menonton acara Buser, Patroli, Sergap di TV Indonesia. Dalam pandangan kultuvasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam acara-acara itu menggambarkan dunia kita sebenarnya. Acara tersebut seolah menggambarkan dunia kejahatan seperti itulah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Efek kultivasi memberikan pesan bahwa TV mempunyai dampak yang sangat kuat pada diri individu. Bahkan, mereka menggap bahwa lingkungan di sekitarnya sama seperti yang tergambar dalam TV.
 
1.       Kritik terhadap Teori Kultivasi
Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakanpermasalahan. Perilaku kita kemungkinan tidak hanya dipengaruhi oleh TV, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita, dan lain lain.

Hawkins dan PIngree tidak dapat menemukan kesimpulan yang menunjuk adanya hubungan antara menonton TV dengan gagasan realitas sosial penontonnya. Mungkin ada hubungan yang saling memengaruhi antara “menonton TV menyebabkan sebuah realitas sosial yang dikontruksikan di dalam cara tertentu, tetapi kontruksi realitas sosial itu mungkin juga disebabkan langsung oleh perilaku penonton itu sendiri” (McQuail dan Windahl, 1993).

Doob dan MacDonald melaporkan bahwa dalam mempelajari tema kekerasan, kontrol lingkungan lebih cocok dibandingkan dengan control pendapat seperti yang pernah dikemukakan oleh Gerbner. Hirst bahkan menggarisbawahi bahwa sebuah hubungan nyata antara terpaan kekerasan TV dan takut akan kejahatan dalam dijelaskan dalam lingkungan dengan tingkat kriminalitas tinggi lebih mungkin untuk tinggal di rumah dan menonton TV, bahwa mereka juga percaya bahwa mereka memiliki peluang lebih besar untuk diserang atau diganggu daripada mereka yang tinggal di dalam lingkungan yang tingkat kriminalitasnya rendah.

Bagi Daniel Candler, mengajukan pernyataan kepada penonton tentang perkiraan statistic kejahatan bisa dianggap ukuran kasar kalau dijadikan patokan utama. Bahkan di dalam konteks fungsi simbiolik, beberapa penganut teori kritis membahas lebih jauh dibandingkan penganut teori kultivasi, yang berpendapat atau memberikan contoh bahwa adanya kekurangan relatif pada ciri khas kaum wanita pada TV adalah pernyataa simbolik tentang ketidakpercayaan kepentingan di dalam realitas sosial yang sedang terjadi “wanita itu dihancurkan secara simbolik”.

Beberapa teori mutakhir menekankan bahwa penonton sebenarnya aktif di dalam usaha menekan kekuatan pengaruh TV seperti yang tidak di asumsi teori kultivasi. Teori kultivasi mengganggap penonton itu pasif. Teori kultivasi lebih memfokuskan pada kuatintas menonton TV atau “terpaan” dan tidak menyediakan perbedaan yang mungkin muncul ketika penonton menginterpretasikan siaran-siaran TV. Bahkan Joseph Dominick pernah berkata bahwa, “individu yang menonton TV tanpa motivasi atau perencanaan sebelumnya lebih gampang untuk melupakan apa yang dilihatnya daripada mereka yang menonton TV dengan motivasii dan direncanakan“ (Dominick 1990).
Para penganut teori kultivasi cenderung memandang sebelah mata adanya dinamika sosial dalam memanfaatkan siaran TV. Ketika penonton mempunyai banyak pengalaman hidup langsung tentang apa yang disiarkan TV, semua itu cenderung akan mengurangi efek kultivasi. Sering dikatakan bahwa teori kultivasi mungkin dipertinggi ketika penonton menginterpretasikan isi program menjadi realistis. Itu berarti, penonton yang skiptis mungkin lebh sedikit terkena efek. Ada banyak bukti bahwa minoritas etnis memperlihatkan pengalaman dalam soal-soal duniawi di dalam “realitas yang dirasakan” daripada yang lain (Van Evra 1990).
 
C.                  Cultural Imperialism Theory
Teori ini prtama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia. Hal ini berarti, media massa negara Barat mendominasi media massa di dunia pihak ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Kebudayaan Barat memproduksi hampir mayoritas semua media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto, dll. Kenapa bisa seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Kedua, merek mempunyai teknologi. Teknologi modern yang mereka miliki memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan, dan seolah nyata.

Negara dunia ketiga tertarik untk membeli produk Barat tersebut. Sebab, membeli produk jauh lebih murah jika dibandingkan dengan membutnya sendiri. Dampak seelanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan, dan pemikiran. Mengapa bangsa negara dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga. Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Bara tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat.

Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan, dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya di TV. Akibatnya, individu-individu tersebut lebih senang meniru apa yang disajikan TV. Teori imperialisme budaya ini pun tidak lepas dari kritikan. Teori tersebut menganggap bahwa busaya yang berbeda (yang tentunya lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya.
 
D.                      Media Equation Theory
Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam tulisannya The Media Equation: How people Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places pada tahun 1996. Teori persamaan media ini ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak sadar dan bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media seolah-olah (media itu) manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan computer seolah-olah computer itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi.

Manusia bisa belahar dari orang lain, bisa dimintai nasihat, bisa dikritik, bisa menjadi penyalur kekesalan atau kehimpitan hidup. Apa yang bisa dilakukan pada manusia ini bisa dilakukan oleh media massa. Dalam media cetak misalnya, kita pun bisa meminta nasihat masalah-masalah psikologi pada rubrik konsultasi psikologi di media massa itu, kita pun bisa mencari jodoh melalui media, yaitu dalam rubric cari jodoh. Dalam hal ini TV dan computer diberlakukan sebagai actor sosial. Artinya, aturan yang memengaruhi perilaku individu-individu setiap hari dalam interaksi dengan orang lain relative sama seperti ketika orang-orang berinteraksi dengan computer atau TV.

Sejalan dengan teori ekuasi media ini, media bahkan dianggap seperti kehidupan nyata (media and rel life are the same). Dengan computer kita berbuat apa saja, misalnya kita bisa mencari hiburan dengan permainan yang disediakan, kita bisa menjelajah keseluruh dunia dengan perantaraan internet, kita bisa berkirim surat secara cepat melalui e-mail dengan teman yang adda di negara lain, kita pun bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari kebutuhan kita dengan computer.
 
E.                       Spiral of Silence Theory
Elizabeth Noelle-Neuman adalah orang yang memperkenalkan teori spiral keheningan/kesunyian ini. Teori ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1987 melalui tulisannya yang berjudul The Spiral of Silence. Seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”nya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Bahkan orang-orang yang sedang berada dalam kelompok mayoritas sering merasa perlu untuk mengubah pendiriannya. Sebab, kalau tidak mengubah pendiriannya, ia akan merasa sendiri. Ada kaitan erat antara opini dengan media massa. Opini yang berkembang dalam kelompok mayoritas dan kecenderungan seorang untuk diam (sebagai basis dasar teori spiral kesunyian) karena dia berasal dari kelompok minoritas juga bisa dipengaruhi oleh isu-isu media massa.

Untuk memperjelas teori ini bisa diilustrasikan pada kejadian di Indonesia. Di Indonesia terjadi dua kelompok besar yang setuju dengan penerapan demokari dan yang tidak.
Teori ini memiliki kekurangan. Jika seseorang mempunyai pendirian yang sangat kuat, orang tersebut tidak akan mudah mengikuti opini mayoritas yang ada di sekitarnya misalnya jika opini itu menyangkut kepercayaan.
 
F.                            Technological Determinism Theory
Teori ini dikemukakan oleh Marshall McLuhan pertama kali pada tahun 1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi padda berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Misalnya, dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elekteronik. McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi.

Kita belajar, merasa, dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio menyediakan pesan kepada manusia melalui indera pendengar (audio), sementara TV menyediakan pesan melalui pendengaran dan penglihatan (audio visual). Media adalah alat untuk memperkuat, memperkeras, dan memperluas fungsi dan perasaan manusia. Misalnya, dengan sebuah buku seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku, kita bisa “melihat dunia”.

McLuhan percaya bahwa penemuan telegraf pada tahap selanjutnya, mengantarkan orang-orang memasuki era elektronik. Dengan era elektronik, dunia seolah semakin sempit. Hal inilah yang disebut McLuhan sebagai desa golab (global village).
 
G.                           Diffusion of Innovation Theory
Artikel berjudul The People’s Choice yang ditulis oleh Paul Lazarfeld, Bernard Barelson, dan H.Gauder pada tahun 1944 menjadi titik awal munculnya teori difusi-inovasi. Teori ini di awal perkembangannya mendudukkan peran pemimpin opini dalam memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Artinya, media massa mempunyai pengaruh yang kuat dalam menyebarkan penemuan baru. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) difusi adalah proses dimana penemuan disebarkan kepada masyarakat yang menjadi anggota system sosial.

Sebelum ditemukan kondom sebagai salah satu alat kontrasepsi, masyarakat biasa melakukan family planning. Saat ini di TV sangat gencar diiklankan tentang alat kontrasepsi tersebut. Sesuatu yang baru itu menimbulkan keingintahuan masyarakat. Lalu, masyarakat ingin mencobanya, sehingga alat kontrasepsi tersebut sudah banyak dipakai. Jadi ada inovasi (kondom), disebarkan melalui media masa (difusi) lalu dipakai oleh masyarakat (adopter).

Adopsi sebuah inovasi baru akan berjalan secara baik atau tidak, dengan kuantitas pemakai yang besar atau tidak, sangat tergantung dari peran media massa di dalam menyebarkan pesan-pesannya. Dengan demikian, teori difusi-inovasi mendudukan peran media massa sebagai agen perubahan sosial di masyarakat yang tidak bisa dianggap remeh. Jika disimpulkan, menurut teori ini sesuatu yang baru akan menimbulkan keingintahuan masyarakat untuk mengetahuinya. Seseorang yang menemukan hal baru cenderung untuk menyosialisasikan dan menyebarkan kepada orang lain.
 
H.                      Uses and Grafitications Theory
Herbert Blumer dan Elihu Katz adalah orang pertama yang mengenalkan teori ini. Teori uses and grafitications (kegunaan dan kepuasan) dikenalkan pada tahun 1974 dalam bukunya The Uses on Mass Communications: Current Perspectives on Gratifications Research. Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya, teori ini mengansumsikan bahwa penggunanya mempunyai pilihan alternative untuk memuaskan kebutuhannya.

Teori ini jelas merupakan kebalikan dari teori peluru. Dalam teori peluru media sangat aktif dan all powerfull, sementara audience berada di pihak yang pasif. Sementara itu dalam teori ini ditekankan bahwa audience aktif untuk menentukan media mana yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhannya. Kalau dalam teori peluru terpaan media akan mengenai audience sebab ia berada dipihak yang pasif, sementara dalam teori ini justru sebaliknya. Teor ini lebih menekankan pada pendekatan manusiawi dalam melihat media massa. Artinya, manusia itu mempunyai otonomi, wewenang untuk memperlakukan media.
Sementara Schramm dan Porter dalam bukunya Men, Women, Message , and Media (1982) pernah memberikan formula untuk menjelaskan teori ini

Janji Imbalan
----------------------------------- = Probabilitas Seleksi
Upaya yang Diperlukan
 
Kita bisa memahami interaksi orang dengan media melalui pemanfaatan media oleh orang itu (uses)
dan kepuasaan yang diperoleh (gratification).
 
 
I.                         Agenda Setting Theory
 
Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw adalah orang yang pertama kali memperkenalkan teori agenda setting ini. Teori ini muncul sekitar tahun 1973 dengan publikasi pertamanya berjudul “The Agenda Setting Function of The Mass Media” Public Opinion Quarterly No. 37. Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media (khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita piker, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Teori media ini mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Jika agenda media adalah pemberitaan tentang operasi pemulihan keamanan di Aceh untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agenda atau pembicaraan masyarakat juga sama seperti yang diagendakan media tersebut. Hal ini berarti, jika pemberitahuan media massa tentang kenaikan harga BBM yang kontroversional, yang menjadi bahan pembicaraan masyarakat tentang kenaikan harga BBM itu.
 
Mengikuti pendapat Chaffed an Berger (1997) ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan untuk memperjelas teori ini.
1.       Teori itu mempunyai kekuatan penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama menggap penting suatu isu
2.       Teori itu mempunyai kekuatan memprediksi sebab bahwa jika orang-orang mengekspos pada suatu media yang sama, mereka akan merasa isu yang sama tersebut penting.
3.       Teori itu dapat dibuktikan salah jika orang-orang tidak mengekspos media yang sama maka mereka tidak akan mempunyai kesamaan bahwa isu media itu penting.
 
Sementara itu Stephen W. Littlejohn (1992) pernah mengatakan, agenda setting ini beroprasi dalam tiga bagian:
1.       Agenda media sendiri itu harus diformat.
2.       Agenda media dalam banyak hal memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik.
3.       Agenda publik memengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan.
 
Untuk lebih memperjelas tiga agenda (agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijakan) dalam teori agenda setting ini, ada beberapa dimensi yang berkaitan seperti yang dikemukakan oleh Mannheim (Severin dan Tankard Jr, 1992) sebagai berikut:
1.       Agenda media terdiri dari dimensi-dimensi berikut.
a)      Visibility (visibilitas).
b)      Audience salience (tingkat menonjol bagi khalayak).
c)       Valence (valensi).

2.       Agenda khalayak, terdiri dari dimensi-dimensi berikut.
a)      Familiarity (keakraban).
b)      Personal salience (penonjolan pribadi).
c)       Favorability (kesenangan).

3.       Agenda kebijakan terdiri dari dimensi-dimensi berikut.
a)      Support (dukungan).
b)      Likelihood of action (kemungkinan kegiatan).
c)       Freedom of action (kebebasan bertindak).
 
 
J.                                  Media Critical Theory
 
Teori media kritis ini akarnya berasal dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada ilmu sosoal Marxis. Beberapa tokoh yang meloporinya antara lain Karl Marx, Engels (pemikiran klasik), George Lukacs, Korsch, Gramschi, Guevera, Regis, Debay, T. Adorno, Horkheimer, Marcuse, Habernas, Altrusser, Johan Galtung, Cardoso, Dos Santos, Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi (prmikiran modern). Teoru kritis membangun pertanyaan dan menyediakan alternative jalan untuk menginterpretasikan hokum sosial media massa. Teori kritis sering menganalisis secara khusus lembaga sosial, penyelidikan luas untuk yang dinilai objektif adalah mencari dan mencapai.
 
Bisa dikatakan bahwa teori media kritis ini sebisa mungkin mendorong perubbahan secara terus-menerus. Hegemoni pemilik modal sudah saatnya dihilangkan dengan “perlawanan”. Menurut persepektif teori ini, media tidak boleh hanya memberitakan fakta atau kejadian yang justru memperkuat status quo. Media harus peka terhadap persoalan ketidakadilan, ketertindasan yang dilakukan pemerintahnya. Media harus terus mengkritisi dan melawan segala bentuk hegemoni dan kekuasaan yang hanya berada di tangan penguasa.
 
Pemerintah, biasanya akan mementingkan stabilitas dan kesatuan dengan memandang seelah mata konflik, tuntutan, dan pergolakan yang justru menjadi sasaran teori kritis. Para pemilik modal lebih menekankan orientasi pasar untuk mencari untung sebanyak-banyaknya. Mereka tidak peduli apa yang disajikan medianya, yang penting bisa memberikan keuntungan besar. Disinilah media massa yang sudah mempunyai system kuat sangat sulit untuk mempraktikan semangat teori kritis media karena hegemoni kekuasaan dalam system sangat  kuat.

Sumber : Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Malang: Raja Grafindo Persada.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASAL-USUL KOMUNIKASI MASA

Sejarah Perkembangan Komputer Dari Awal Sampai Sekarang

Secara luas, pengertian komputer dapat di definisikan sebagai suatu peralatan elektronik, yang terdiri dari beberapa komponen komputer.